Dari dua
percakapan diatas, sebenarnya ada makna yang tersirat. Walaupun tidak terang
benderang namun ada makna. Sebuah makna, dari ketidakseriusan atau setengah
hati. Mungkin disebagian kita sering mendengar ungkapan-ungkapan. Gimana mau lulus, serius aja engga? Gimana
mau dapet, udah serius belum lw? Sebenarnya lw itu serius apa engga sih? Kamu
serius ga sih sama aku? (#ouch hehe) Atau kok lw setengah-setengah sih. Tentu
masih banyak ungkapan-ungkapan lain seputar hal-hal itu.
Banyak
yang sebenarnya mampu. Tetapi banyak pula yang tidak yakin bahwa dia itu mampu.
Atau ragu bahwa dirinya mampu atau sanggup. Atau bahkan kemampuan itu sedang
di’ninakbobokan’. Manusia itu unik, tidak mungkin manusia diseluruh dunia sama
persis. Setiap kita diciptakan dengan segala kelebihan kita masing-masing.
Namun memunculkan kelebihannya saja yang berbeda-beda. Hidup adalah sebuah
perjuangan (pertarungan). Persaingan akan semakin ketat kedepannya. Kedepannya
akan semakin keras kita dalam menjalani hidup. Dimanapun dalam ranah kehidupan
pasti ada persaingan. Dari persaingan itulah kita akan bertarung.
Pertarungan
hidup ini membuat kita harus berjuang ekstra kuat. Kegagalan yang kita saksikan
atau mungkin (pasti) pernah kita rasakan, tidak selamanya karena ketidakmampuan
kita. Tidak selamanya juga karena kelembekkan kita. Terkadang kita setengah
hati dalam berusaha atau mencoba. Tidak all
out atau total dalam berkarya
dan melangkah atau memperjuangkan sesuatunya. Sehingga keberhasilan itu bukan
milik kita. Terkadang, usaha dan doa yang dilakukan sejatinya menunjukan keseriusan
dan keniatan untuk menggapai sesuatu.
Melangkah
setengah hati ini bisa jadi karena kurangnya rasa kepercayaan diri yang mapan.
Takut jatuh sebelum melangkah. Takut bayang-bayang sendiri. Takut gagal dalam
mencoba. Takut ditolak ketika mengungkapkan. Takut tidak berbalas. Takut
mengambil resiko. Kita mengawali langkah dengan prasangka yang buruk kepada
Sang Pencipta. Menegatifkan hasil yang nyata-nyata nya belum kita ketehui sama
sekali dan hanya Sang Pencipta lah yang Maha Tahu. Kita terlalu mengkerdilkan
diri kita dihadapan pesaing kita. Kalah sebelum berperang. Menyerah sebelum ada
keringat yang mengucur dari usaha maksimal kita. Pasrah sebelum memohon dan
memanjatkan permohanan kepada Sang Pencipta secara serius.
Belum
apa-apa saja kita sudah memvonis diri kita. Udah nyerah duluan. Kayanya berat
deh. Sulit deh untuk dilakukan sekarang. Kayanya dia ga suka deh. Nah, kalau
vonis sudah datang dari kita sendiri. Siapa yang mau menolang diri kita dari
kegagalan? Walaupun iya, dalam setiap mengambil keputusan harus diputuskan
secara rasional, akal sehat, hati nurani, dan tentu-tentunya nilai keagamaan.
Langkah terseok dan terjatuh bukan selamanya kita tidak sanggup atau tidak
mampu. Bisa jadi ini pelajaran untuk kita bangkit kembali dan mengambil
pelajaran itu agar kita terhindar dari lubang kegagalan pertama. Semua hanya
masalah kebulatan tekad kita untuk melangkah tidak setengah hati.
I think I think I know that friend you refers to, LOL :p
BalasHapusHahaaha.. But, thanks for the advice.. :)