Belum lama ini, seorang
lelaki bercerita. Singkat ceritanya yang panjang atau inti kesimpulannya ia
ingin menyampaikan: ‘Deketnya sama siapa, eeh endingnya sama siapa’. Memang
itulah kata-kata yang sering diulang. Lucu juga mendengar ceritanya pada waktu
itu. Tetapi pait juga bila merasakan apa yang diceritakannya. Ternyata memang
sebenarnya ada dan nyata kisah yang seperti itu. Saya merasakan ada makna yang
mendalam bila direnungi.
Sampai pada akhirnya,
ada cerita lain yang lebih sederhana. Seorang lelaki bercerita, suatu waktu
saat sore sepulang berolahraga perutnya terasa lapar. Ia lalu sebelum pulang
mampir membeli nasi padang dengan dua lauk: ayam bakar dan dendeng untuk
mengobati rasa laparnya itu. Ketika cuci tangan dan hendak menyantap nasi
padang, tiba-tiba seorang temennya datang bertamu. Karena tak ada sesuatu yang
bisa ia hidangkan dan kebetulan hanya ada nasi padang yang terlihat. Maka
dengan suka cita ia pun memberikan nasi padang itu kepada temannya itu.
Setelahnya ia bergumam dalam hati.“Ternyata rezeki Allah tidak pernah
tertukar. Sesuatu yang di depan mata saja belum tentu jadi milik kita”.
Begitulah rezeki,
apapun bentuknya terkadang ia hanya sekedar ‘numpang’
singgah di genggaman kita, untuk selanjutnya berpindah kepada orang lain.
Meskipun kita yang mengusahakannya, memperjuangkannya, dan menjaganya. Bahkan
sudah nyaris ‘memiliki’nya atau mengkonsumsinya (re; nasi padang), jika
ketentuan Allah memang sekedar ‘numpang’ singgah maka ia tidak akan bertahan di
tangan kita. Kita tak lebih dari sebagai perantara untuk kebahagian orang lain,
bukan pemilik jatah itu. Karunia Allah
yang sampai di tangan kita, tak semua akan otomatis menjadi milik kita. Ibarat
gudang penampung, kita hanya sekedar tempat persinggahan. Setelah itu karunia,
tersebut akan berpindah sesuai jalan ketentuan-Nya. Kepada siapa yang DIA
kehendaki, yang tidak pernah kita tahu, tidak pernah pula bisa kita tebak. Jalannya kehidupan ini kita tidak akan pernah tau sedikit pun. Kita hanya bisa menjalani. Kalau, memang bukan kepunyaan kita? Yah, mau dikata apalagi? Tentunya, jalani sebaiknya dan semampunya.
Apapun
(rezeki) yang sampai ke tangan atau genggaman kita, sekali lagi, tak semuanya
kepunyaan kita. Mungkin sebagiannya hanya menjadikan kita sebagai 'jembatan
penyebrangan', untuk selanjutnya bertemu dengan pemilik aslinya yang sah. Untuk itu berusahalah sebisa mungkin, untuk menjadi 'jembatan penyebrangan' yang baik untuk orang-orang terdekat kita.
Orang-orang yang datang
kepada kita. Tanpa kita sadari diawal yang menuntut peran kita sebagai
perantara janganlah selalu dianggap buruk. Boleh jadi sebenarnya mereka adalah
orang-orang yang dikirim Allah agar kita melalukan sebuah kebaikan untuk orang
lain. Maka kita dan mereka, sesungguhnya berada dalam posisi yang sama. Kita
perantara untuk sebuah ’hajat’ yang mereka
harapkan dan cita-citakan, dan mereka
perantara untuk kita berbuat baik bahkan yang terbaik. Maka dari situlah tidak
perlu ada rasa bangga dan kecewa yang berlebihan. Karena sesungguhnya kita sama
dan mungkin kita adalah pihak yang lebih mengambil manfaat dari interaksi itu. Ingatlah, orang lain tidak akan pernah melupakan seseorang yang sangat berada dekat dengan nya di waktu dan kondisi dia yang teramat sulit. Pasti tidak akan lupa.
Bersyukurlah kita
pernah menjadi perantara untuk kebahagian orang lain. Masih bisa diberi
kesempatan untuk menjadi perantara orang-orang yang membutuhkan. Bersyukur
pernah menjadi ‘jembatan penyebrangan’ kebahagian orang lain.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus