Kamis, 24 Januari 2013

Banjir Jakarta, Salah Siapa?

Geliat Jakarta sempat terhenti oleh banjir yang melanda seminggu yang lalu. Sampai sekarang pun warga Jakarta masih harap-harap cemas kalau-kalau banjir kembali melanda Jakarta. Bahkan bukan hanya Jakarta, tetapi daerah tetangga pun merasakan kecemasan terhadap bencana banjir. Bila ditanya banjir Jakarta, salah siapa? Baiknya kita sepakat terlebih dahulu bahwa banjir Jakarta adalah salah kita semua. Iya, kita sebagai warga dan tentu saja pemerintah yang memimpin warganya. Dalam tulisan yang sangat sederhana ini. Tentunya tidak ada maksud sedikit pun untuk mengungkapkan siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggungjawab. 
 
Rasanya pun tidak elok bila kita menyalakan atau menagih janji gubernur yang baru untuk bisa mengatasi masalah banjir. Jokowi pun sebagai Gubernur Jakarta yang baru menjabat 100 hari. Rasanya tidak pantas dibebankan sepenuhnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Mau itu Gubernurnya Jokowi atau Jokowow sekali pun sampai kapanpun Jakarta tidak pernah bisa lepas dari banjir. Namun paling tidak hanyalah meminimalisir dampak akibat dari banjir. Bila kita kritis lebih jauh lagi, gubernur yang lalu-lalu sudah berbuat apa dalam mengatasi banjir? Banjir Kanal Timur (BKT) pun sebagai mega proyek mengatasi banjir baru dibuat selepas banjir besar 2007. Itu pun berkat usaha Jusuf  Kalla yang ingin mempercepat BKT segera selesai. 2013 pun pemerintah pusat berencana membangun sodetan dari Banjir Kanal Barat (BKB) menuju BKT untuk mengurangi beban yang ada di BKB.  Massa iya kita baru membuat proyek mengatasi banjir selepas kita terkena banjir besar. Dimana usaha untuk memitigasi bencana? Padahal kerugian akibat banjir lebih besar dari membangun proyek-proyek yang akan dibangun. 

Namun bila dilihat dari ‘kacamata’ ketatanegaraan pun, rasanya memang pemerintah (pusat dan daerah) yang harus bertanggungjawab untuk bisa mengatasi masalah banjir di Ibukota Jakarta. Mulai dari pilpres, pilgub, hingga pileg warga telah memilih para pemimpinnya. Artinya warga telah mengamanatkan segala sesuatunya kepada para pemimpinnya untuk bisa membawa perubahan ke kehidupannya. Pemerintah telah dipilih oleh warganya untuk bisa memajukan warganya dari keadaan yang tidak diinginkan (banjir) menjadi ke keadaan yang diinginkan (bebas banjir). Dengan apa caranya? Tentu pemerintah punya kebijakan publik. Itulah alat pemerintah untuk bisa mendorong bahkan mempercepat langkah menuju ke keadaan yang diinginkan (bebas banjir). Kebijakan publik pun merupakan langkah yang hanya bersifat structural. Namun yang lebih penting dari itulah bagaimana menciptakan langkah non-structural yaitu menciptakan partisipasi masyarakat untuk bisa lebih peka dan bertanggungjawab untuk menjaga lingkungannya masing-masing. Simpelnya ialah tidak membuang sampah sembarangan atau mau dengan sukarela untuk siap pindah dari daerah bantaran kali. Artinya kebijakan sebaik apapun tanpa dukungan dari masyarakat hanya lah sebagai tumpukan kertas atau dokumen yang tidak memiliki arti apa-apa. Maka dari itu langkah structural dan non-structul harus bisa jalan beriringan. 

Banjir di Jakarta selalu berulang baik tahunan maupun lima tahunan. Rasanya pantas diakui bahwa beban Jakarta memang sudah terlalu berat. Jakarta adalah pusat dari semuanya pusat. Pusat pemerintahan iya, pusat ekonomi iya, pusat industri iya, pusat politik iya, pusat transportasi iya, bahkan sekarang ditambah sebagai pusat pariwisata pesisir dan pusat budaya. Wajar saja bila Jakarta memuntahkan (masalah) semuanya. Karena memang Jakarta tidak sanggup lagi menahan beban yang begitu besar. Beban yang besar dan beban yang begitu banyak. Jakarta sudah lelah dan payah menanggung semua masalah yang dihadapinya.  Segala yang berlebihan, sampai kapanpun tidak akan baik. Sekali lagi beban Jakarta sudah terlalu berat. Tentu hal ini bisa diperdebatkan, namun fakta dilapangan mengatakan demikian. Anda bisa melihat semua selama seminggu terakhir pemberitaan media televisi selalu meliput mengenai banjir Jakarta. Warga Kalimantan, Papua, Aceh yang daerahnya cerah berawan dipaksa untuk melihat berita banjir Jakarta. Artinya apa, media pun memberikan porsi yang begitu besar terhadap Jakarta. Kasarnya Indonesia itu yaa Jakarta. Yang lain nanti dulu. Karena apa? Jakarta lah pusat dari segala pusatnya Indonesia. 

Menurut hemat saya sebaiknya ibukota negara harus dipindahkan atau paling tidak ada pemisahan antara ibukota negara dan pusat bisnis, niaga, dan industri (pusat perekonomian). Nantinya Jakarta diberi dua pilihan apakah ingin tetap menjadi ibukota negara atau ingin tetap menjadi pusat perekonomian. Jadi Jakarta, jangan serakah mengambil semuanya. Jakarta harus jelas porsinya ibukota negara atau pusat perekonomian. Nah untuk itulah pemerintah pusat maupun daerah Bersama DPR RI serta pemangku semua kepentingan yang berada di negara ini harus mengambil sebuah legacy nasional yang menetapkan bahwa ibukota negara sebagai pusat pemerintahan harus dipisahkan dengan pusat perekonomian. Jadi pemerintah bukan hanya sekedar membangun ini atau membangun itu sebagai usaha untuk mengatasi banjir Jakarta. Namun, harus ada langkah yang strategis, komprehensif, dan holistik dalam mengatasi semua masalah Jakarta. Sampai kapan pun bila hanya mengejar proyek-proyek untuk membangun ini itu tidak akan sebanding dengan pertumbuhan beban Jakarta yang semakin menumpuk terus. Ini baru hanya dilihat satu sisi yaitu banjir. Belum dari sisi lain seperti macet, sampah, tata kota, sosial, serta masih banyak lagi. 

Untuk itulah adanya semacam pemisahan yang jelas dari keduanya. Seandainya Jakarta memilih sebagai ibukota negara, maka harus segera dikeluarkan kebijakan yang mengatur bahwa seluruh pusat bisnis, pusat niaga, industri, pelabuhan, bandara, perguruan tinggi dan sarana rekreasi harus segera hijrah dari Jakarta. Namun jika Jakarta memilih sebagai pusat perekonomian maka tempat yang menjadi daerah relokasi Jakarta nanti sebagai ibukota harus siap dipindahkan 34 Kementerian. Artinya kantor-kantor kementerian dan infrastruktur penunjang dari kegiatan pemerintahan di Indonesia ikut dipindahkan juga seperti rumah dinas pejabat dan pegawai kementerian perlu dibuat juga dan belum lagi kantor-kantor lembaga negara yang ikut dipindahkan juga.

Kita bisa melihat contoh dari negara lain. Negara yang melakukan pemisahan antara pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, misalnya Amerika yang memisahkan antara Washington DC sebagai pusat pemerintahan dan Newyork sebagai pusat bisnis. Begitu juga dengan negara tetangga kita Malaysia yang memindahkan Pusat pemerintahan Ke daerah Putra Jaya sedangkan pusat bisnis ke Kuala lumpur. Tentu masih ada negara seperti Brazil dan Australia yang ikut memisahkan pusat pemerintahan dan pusat perdagangan. Bila ini mampu dilakukan bertahap, maka beban Jakarta akan semakin ringan untuk ditata dan dikelola baik dari segi tata kota (terutama lingkungan hidup) maupun tata pemerintahan. 

Lalu timbul pertanyaan berupa uang yang dibutuhkan untuk memisahkan antara pusat pemerintahan dengan pusat perekonomian. Misalnya Jakarta tetap memilih sebagai pusat perekonomian. Maka berapa uaang yang dibutuhkan untuk merelokasi ibukota dari Jakarta? Menurut Pakar Kebijakan Publik Andrinof Chaniago uang atau anggaran yang dibutuhkan ialah sekitar 100 Triliun untuk membangun semua infrastruktur ibukota tersebut. Sebenarnya bangsa kita mampu memindahkan ibukota, apabila pemerintah mau konsisten mengeluarkan 10-15 Triliun dari APBN kita selama 10 tahun saja. Maka bukan hal yang mustahil 10 atau 15 lagi kita akan memiliki ibukota yang bener-bener kota yang berkelanjutan dan ibukota yang menjadi harapan bangsa kita.  Anda bisa bayangkan semua bagaimana Indonesia ditahun 2025 memiliki Ibukota negara yang luarbiasa dari segi apapun. Dapat dipastikan bila hal ini terjadi Indonesia akan memiliki Ibukota yang lebih baik dari Jakarta. Karena tentu saja kita harus belajar dari kesalahan dalam membangun sebuah ibukota. Kita tidak usah takut tidak punya uang dalam memindahkan ibukota, Toh APBN kita sekarang sekitar 1300-1500 Triliun. APBN kita selalu bertambah tiap tahunnya. Jadi apa salahnya memindahkan pusat kegiatan baik itu pemerintahan atau perekonomian dari Jakarta. Mengingat beban Jakarta yang sudah sangat berat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar