Rasanya pun
tidak elok bila kita menyalakan atau menagih janji gubernur yang baru untuk
bisa mengatasi masalah banjir. Jokowi pun sebagai Gubernur Jakarta yang baru
menjabat 100 hari. Rasanya tidak pantas dibebankan sepenuhnya sebagai pihak
yang paling bertanggung jawab. Mau itu Gubernurnya Jokowi atau Jokowow sekali
pun sampai kapanpun Jakarta tidak pernah bisa lepas dari banjir. Namun paling
tidak hanyalah meminimalisir dampak
akibat dari banjir. Bila kita kritis lebih jauh lagi, gubernur yang lalu-lalu
sudah berbuat apa dalam mengatasi banjir? Banjir Kanal Timur (BKT) pun sebagai
mega proyek mengatasi banjir baru dibuat selepas banjir besar 2007. Itu pun
berkat usaha Jusuf Kalla yang ingin
mempercepat BKT segera selesai. 2013 pun pemerintah pusat berencana membangun
sodetan dari Banjir Kanal Barat (BKB) menuju BKT untuk mengurangi beban yang
ada di BKB. Massa iya kita baru membuat
proyek mengatasi banjir selepas kita terkena banjir besar. Dimana usaha untuk
memitigasi bencana? Padahal kerugian akibat banjir lebih besar dari membangun
proyek-proyek yang akan dibangun.
Namun bila
dilihat dari ‘kacamata’ ketatanegaraan pun, rasanya memang pemerintah (pusat
dan daerah) yang harus bertanggungjawab untuk bisa mengatasi masalah banjir di
Ibukota Jakarta. Mulai dari pilpres, pilgub, hingga pileg warga telah memilih
para pemimpinnya. Artinya warga telah mengamanatkan segala sesuatunya kepada
para pemimpinnya untuk bisa membawa perubahan ke kehidupannya. Pemerintah telah
dipilih oleh warganya untuk bisa memajukan warganya dari keadaan yang tidak
diinginkan (banjir) menjadi ke keadaan yang diinginkan (bebas banjir). Dengan
apa caranya? Tentu pemerintah punya kebijakan publik. Itulah alat pemerintah
untuk bisa mendorong bahkan mempercepat langkah menuju ke keadaan yang
diinginkan (bebas banjir). Kebijakan publik pun merupakan langkah yang hanya
bersifat structural. Namun yang lebih penting dari itulah bagaimana menciptakan
langkah non-structural yaitu menciptakan partisipasi masyarakat untuk bisa
lebih peka dan bertanggungjawab untuk menjaga lingkungannya masing-masing.
Simpelnya ialah tidak membuang sampah sembarangan atau mau dengan sukarela
untuk siap pindah dari daerah bantaran kali. Artinya kebijakan sebaik apapun
tanpa dukungan dari masyarakat hanya lah sebagai tumpukan kertas atau dokumen
yang tidak memiliki arti apa-apa. Maka dari itu langkah structural dan non-structul
harus bisa jalan beriringan.
Banjir di
Jakarta selalu berulang baik tahunan maupun lima tahunan. Rasanya pantas diakui
bahwa beban Jakarta memang sudah terlalu berat. Jakarta adalah pusat dari
semuanya pusat. Pusat pemerintahan iya, pusat ekonomi iya, pusat industri iya,
pusat politik iya, pusat transportasi iya, bahkan sekarang ditambah sebagai
pusat pariwisata pesisir dan pusat budaya. Wajar saja bila Jakarta memuntahkan (masalah)
semuanya. Karena memang Jakarta tidak sanggup lagi menahan beban yang begitu
besar. Beban yang besar dan beban yang begitu banyak. Jakarta sudah lelah dan
payah menanggung semua masalah yang dihadapinya. Segala yang berlebihan, sampai kapanpun tidak
akan baik. Sekali lagi beban Jakarta sudah terlalu berat. Tentu hal ini bisa
diperdebatkan, namun fakta dilapangan mengatakan demikian. Anda bisa melihat
semua selama seminggu terakhir pemberitaan media televisi selalu meliput
mengenai banjir Jakarta. Warga Kalimantan, Papua, Aceh yang daerahnya cerah
berawan dipaksa untuk melihat berita banjir Jakarta. Artinya apa, media pun
memberikan porsi yang begitu besar terhadap Jakarta. Kasarnya Indonesia itu yaa
Jakarta. Yang lain nanti dulu. Karena apa? Jakarta lah pusat dari segala
pusatnya Indonesia.
Menurut
hemat saya sebaiknya ibukota negara harus dipindahkan atau paling tidak ada pemisahan
antara ibukota negara dan pusat bisnis, niaga, dan industri (pusat
perekonomian). Nantinya Jakarta diberi dua pilihan apakah ingin tetap menjadi
ibukota negara atau ingin tetap menjadi pusat perekonomian. Jadi Jakarta,
jangan serakah mengambil semuanya. Jakarta harus jelas porsinya ibukota negara atau
pusat perekonomian. Nah untuk itulah pemerintah pusat maupun daerah Bersama DPR
RI serta pemangku semua kepentingan yang berada di negara ini harus mengambil
sebuah legacy nasional yang menetapkan bahwa ibukota negara sebagai
pusat pemerintahan harus dipisahkan dengan pusat perekonomian. Jadi pemerintah
bukan hanya sekedar membangun ini atau membangun itu sebagai usaha untuk
mengatasi banjir Jakarta. Namun, harus ada langkah yang strategis,
komprehensif, dan holistik dalam mengatasi semua masalah Jakarta. Sampai kapan
pun bila hanya mengejar proyek-proyek untuk membangun ini itu tidak akan
sebanding dengan pertumbuhan beban Jakarta yang semakin menumpuk terus. Ini
baru hanya dilihat satu sisi yaitu banjir. Belum dari sisi lain seperti macet,
sampah, tata kota, sosial, serta masih banyak lagi.
Untuk
itulah adanya semacam pemisahan yang jelas dari keduanya. Seandainya Jakarta
memilih sebagai ibukota negara, maka harus segera dikeluarkan kebijakan yang
mengatur bahwa seluruh pusat bisnis, pusat niaga, industri, pelabuhan, bandara,
perguruan tinggi dan sarana rekreasi harus segera hijrah dari Jakarta. Namun
jika Jakarta memilih sebagai pusat perekonomian maka tempat yang menjadi daerah
relokasi Jakarta nanti sebagai ibukota harus siap dipindahkan 34 Kementerian. Artinya
kantor-kantor kementerian dan infrastruktur penunjang dari kegiatan
pemerintahan di Indonesia ikut dipindahkan juga seperti rumah dinas pejabat dan
pegawai kementerian perlu dibuat juga dan belum lagi kantor-kantor lembaga
negara yang ikut dipindahkan juga.
Kita
bisa melihat contoh dari negara lain. Negara yang melakukan pemisahan antara
pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, misalnya Amerika yang memisahkan
antara Washington DC sebagai pusat pemerintahan dan Newyork sebagai pusat
bisnis. Begitu juga dengan negara tetangga kita Malaysia yang memindahkan Pusat
pemerintahan Ke daerah Putra Jaya sedangkan pusat bisnis ke Kuala lumpur. Tentu
masih ada negara seperti Brazil dan Australia yang ikut memisahkan pusat
pemerintahan dan pusat perdagangan. Bila ini mampu dilakukan bertahap, maka
beban Jakarta akan semakin ringan untuk ditata dan dikelola baik dari segi
tata kota (terutama lingkungan hidup) maupun tata pemerintahan.
Lalu
timbul pertanyaan berupa uang yang dibutuhkan untuk memisahkan antara pusat
pemerintahan dengan pusat perekonomian. Misalnya Jakarta tetap memilih sebagai
pusat perekonomian. Maka berapa uaang yang dibutuhkan untuk merelokasi ibukota
dari Jakarta? Menurut Pakar Kebijakan Publik Andrinof Chaniago uang atau
anggaran yang dibutuhkan ialah sekitar 100 Triliun untuk membangun semua
infrastruktur ibukota tersebut. Sebenarnya bangsa kita mampu memindahkan
ibukota, apabila pemerintah mau konsisten mengeluarkan 10-15 Triliun dari APBN
kita selama 10 tahun saja. Maka bukan hal yang mustahil 10 atau 15 lagi kita
akan memiliki ibukota yang bener-bener kota yang berkelanjutan dan ibukota yang
menjadi harapan bangsa kita. Anda bisa
bayangkan semua bagaimana Indonesia ditahun 2025 memiliki Ibukota negara yang
luarbiasa dari segi apapun. Dapat dipastikan bila hal ini terjadi Indonesia
akan memiliki Ibukota yang lebih baik dari Jakarta. Karena tentu saja kita
harus belajar dari kesalahan dalam membangun sebuah ibukota. Kita tidak usah
takut tidak punya uang dalam memindahkan ibukota, Toh APBN kita sekarang sekitar
1300-1500 Triliun. APBN kita selalu bertambah tiap tahunnya. Jadi apa salahnya
memindahkan pusat kegiatan baik itu pemerintahan atau perekonomian dari Jakarta.
Mengingat beban Jakarta yang sudah sangat berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar