Senin, 07 Mei 2012

Pilkada di Era Otonomi Daerah: Antara Harapan dan Kenyataan

"Otonomi daerah sejatinya berpotensi untuk menyebarluaskan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini terjadi apabila kewenangan dan keuangan yang sudah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tidak diawasi penggunaannya" (Prasojo, 2009:180).
Pernyataan di atas yang di lontarkan oleh Guru Besar Ilmu Administrasi  FISIP UI tersebut, merupakan suatu bentuk refleksi bahwa kebijakan otonomi daerah ketika di implementasikan tidak terlepas dari permasalahan yang menaunginya. Sejak diimpelementasikan pada tahun 2001 Undang-Undang (UU) No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan harapan baru bagi masyarakat. Reformasi besar-besaran dalam konteks otonomi daerah yang berlangsung sejak UU 22/1999 hingga UU 32/2004 ternyata belum mampu menjawab harapan besar yang ada di masyarakat. Sebaliknya secara mayoritas bahkan menunjukan indikasi kegagalan. Setidaknya ada 2 (dua) perbedaan dalam peningkatan derajat desentralisasi antara UU 22/1999 dengan UU 32/2004 (Hendratno, 2006: 701). Pertama, prinsip pemberian kewenangan yang semakin luas, pada UU 22/1999 adalah kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proposional, sedangkan UU 32/2004 menerapkan pemberian kewenangan yang seluas-luasnya, kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah. Kedua, Pemilihan Kepala Daerah (KDH) secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan. UU 22/1999 dalam pasal 18 ayat (1) mengatur bahwa KDH (Gubernur, Walikota, dan Bupati) dipilih oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), sedangkan UU 32/2004 pada pasal 24 ayat (5) mengatur bahwa KDH dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Point kedua inilah yang menjadi benang merah dalam tulisan ini. Pemilahan langsung Kepala Daerah (Pilkada) merupakan instrumen sebagai pembangunan participatory democracy. Melalui pilkada, masyarakat memilih langsung kepala daerah yang paling baik dan memenuhi semua unsur yang di harapkan.

Alih-alih mendapatkan kepala daerah yang paling baik dan memenuhi semua unsur yang diharapkan justru disitulah satu permasalahan otonomi daerah. Sekarang ini, korupsi bukan hanya tersentralisasi di kalangan pejabat pusat saja seperti yang terjadi pada rezim Orde Baru, melainkan juga terdesentralisasi di kalangan pejabat di pemerintah daerah, Fakta mengejutkan ialah dalam periode 2004-2012 menurut Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzer Moenoek, terdapat 173 pejabat publik di pemerintahan daerah yang diperiksa "sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa". 70 persen dari jumlah itu mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana (Kompas, 17/4/2012).  Menurut Irfan Ridwan Maksum, ternyata desain Pilkada yang baik ini pun terbukti gagal untuk sejumlah daerah yang tidak tepat melaksanakan Pilkada (Kompas, 24/4/2012). Kelemahan Pilkada semakin terlihat ketika adanya ketergantungan suatu daerah terhadap figur pemimpinya, Begitu figur pemimpin ini dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan, habis lah sudah apa yang sudah dibangun di daerah tersebut. Banyaknya pejabat daerah (kepala daerah) yang tersangkut masalah korupsi. Tidak terlepas dari besarnya ongkos politik yang dikeluarkan oleh para calon kepala daerah yang akan mengikuti pilkada.

Mahalnya Ongkos Politik
Menurut Leo Agustino, Ph.D yang dikutip dari bukunya "Sisi Gelap Otonomi Daerah" (2011: 37-41) Untuk menjadi KDH di Indonesia diperlukan uang miliiaran rupiah. Semuanya tergantung seseorang mau mencalonkan jadi apa (Gubernur, Walikota, dan bupati). Misalnya, untuk menjadi walikota seorang calon bisa menghabiskan  Rp.0,3-5 miliar, bupati Rp.0,5-10 miliar, dan gubernur Rp.20-100 miliar (Kompas, 23/7/2010). Mungkin kondisi ini berbeda tergantung dari daerah yang akan diikuti pilkada. Padahal bila diamati pendapatan mereka dari gaji tidak dapat menutupi pengeluaran sebanyak itu. Merujuk pada litbang Kompas (23/7/2010), total gaji dan beberapa tunjangan seorang walikota selama lima tahun ialah 300-420 juta, sedangkan bupati dan gubernur (dalam komposisi yang sama dengan walikota) masing-masing 300-420 juta dan 510-610 juta. Bahkan catatan dari sukardi rinakit mengatakan bahwa pencalonan bupati dan walikota berkisar antara Rp.1,8 miliar hingga Rp.16 miliar dan untuk pencalonan gubernur Rp.100 miliar. Dari jumlah ini kira-kira 20 persen mengalir ke kas partai politik (Parpol) yang memberi dukungan kepada pencalonan mereka (Kumorotomo, 2011: 38). Uang yang mengalir ke parpol tentu saja diberikan sebagai " Uang Mahar" untuk pencalonan mereka. Ada beberapa literature juga yang menyebutkan uang mahar sebagai uang sewa kendaraan atau uang sewa perahu. Kendaraan dan perahu disini maksudnya ialah partai politik. 
Jika meilihat ketimpangan yang tergambar jelas diatas antara ongkos Pilkada dan pendapatan, maka pertanyaan logis yang muncul ialah: Dari mana asal uang miliaran rupiah yang dimiliki oleh para kandidat selama pilkada dari para sponsorship politik atau dirinya sendiri? Apabila dana itu datang dari para sponsorship, maka persoalannya: Bagaimana sang KDH mengembalikan dana yang sangat besar yang telah dipinjamnya? Dari proyek-proyek pembangunan daerah kah?  Namun demikian untuk membiayai itu semua, banyak calon yang tidak memiliki cukup dana. Maka dari itu, calon KDH seringkali mencari para pengusaha daerah untuk bergabung sebagai investor politik untuk menyokong keikutsertaan mereka dalam memenangkan calan dalam pilkada, maka para pengusaha dijanjikan mendapat banyak privilege (bisa berupa perlindungan ekonomi, kemudahan mengurus izin, pengadaan barang dan jasa, dlsb) di kemudian hari kelak. Merujuk realitas tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa melalui pilkada hubungan penguasa dan pengusaha yang selama Orde Baru telah berlangsung harmonis dan rukun semakin lebih mesra dan intim. Kondisi ini sungguh menakutkan karena pesta demokasi dalam Pilkada yang digadang-gadangkan dapat menciptakan perubahan menghadirkan paradoksnya.  Hal ini terjadi untuk menjadi KDH (Gubernur, Walikota, dan Bupati) seorang kandidat memerlukan dana miliaran rupiah dan sesudah terpilih konsekuensi logisnya ialah mereka sebisa mungkin untuk menciptakan good and clean local governnace. Jika dihubungkan antara gaji dan dan pengeluaran dalam pilkada-gaji gubernur Rp.8.7 Juta sedangkan bupati Rp.6,2 juta, maka butuh berapa lama seorang kepala daerah "balik modal" (sementara menjadi walikota Rp.0,3-5 miliar; bupati Rp.0,5-10 miliar, dan gubernur Rp.20-100 miliar)? Mari kita renungkan bersama.

Direct Impact
Tidak mengherankan bahwa proses kebijakan publik (formulation, implementation, and evaluation) di daerah belum mampu menjawab dari rakyat banyak. Ketika pasangan calon terpilih untuk menjalankan pemerintahan mereka akan selalu menanggung beban di pundaknya karena harus memenuhi hasrat dari para elite parpol yang telah membantu mereka meraih jabatan. Pada saat yang sama para pelaku usaha (baca: investor politik) yang telah "menanam" sumbangan kepada bupati atau walikota bahkan gubernur terus merongrong menagih imbalan ketika membuat keputusan penting (kebijakan publik). Celaka lah sudah lagi-lagi kepentingang publik yang terabaikan bahkan tergadaikan. Hal ini seperti yang ditulis oleh Harris-White (1999) dalam bukunya "How India Works: The Character of The Local Otonomy" bahwa ada konsesi atas komitmen transaksi yang telah dilakukan pada awal pilkada. Beberapa komitmen itu ialah: pertama, memanimpulasi policy untuk kepentingan pengusaha (yang telah menyokongnya pada masa sebelum pilkada). Kedua, memaksa swastanisasi aset-aset pemerintah (daerah), dan ketiga melakukan transaksi "pintu belakang" atara pengusaha dan penguasa dalam tender pemrerintah seperti pengadaan alat barang dan jasa, pembangunan infrastruktur daerah, perijinan, pertambangan, dan lain sebagainya (Agustino, 2011: 40). Dari sisi kepala daerah yang dipilih pemberian proyek dan berbagai kemudahan kepada "investor politik"  merupakan "politik balas jasa" yang sangat wajar atas sokongan yang diberikan pengusaha yang telah menggelontorkan begitu banyak dana dalam persaingan Pilkada. Kehidupan masyarakat daerah jika demikian semakin sangat suram. Bila berpikir secara rasional misalnya dalam lima tahun menjabat umpanya, KDH harus mengembalikan dana pinjamannya kepada para pengusaha beserta bunganya. Oleh karena itulah, perilaku korupsi elite daerah menjadi hal biasa bahkan jika tidak berlebihan sudah terlalu kebal kuping ini mendengar berita tertangkapnya para penguasa daerah yang tersangkut masalah korupsi.

Kesimpulan
Pilkada langsung yang awalnya digadang-gadangkan dapat membawa angin segar perubahan proses demokrasi lokal. Diantaranya legitimasi yang kuat, partisipasi masyarakat yang dapat tersalurkan tanpa tergadaikan oleh para elite lokal, lahirnya akuntabilitas dan transparansi daerah, pemekaran daerah yang bertujuan meratakan pelayanan publik yang lebih dekat kepada warga, menciptakan kemesraan antara birokrat daerah dengan warganya, mewujudkan partisapasi yang mapan dan tangguh dari setiap warga negara, namun sayangnya kondisi itu tidak terjadi secara 100 persen di daerah. Berarti dalam hal ini tidak adanya korelasi antara cara-cara demoktarik (Pilkada) akan mewujudkan sistem politik yang demokratik pula. Pilkada adalah contoh nyatanya, mekanisme piilkada yang ditujukan untuk menghilangkan bias legislative yang selama in terjadi. Disamping bertujan untuk memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat lokal pasca Orde Baru. Tetapi malangnya, setelah pilkada di Indonesia dilaksanakan, baik di tingkat gubernur, bupati, ataupun walikota  ternyata fakta yang ada belum dapat dikatakan memuaskan.  Mungkin ini lah pernyataan penutup dari tulisan yang sangat sederhana ini:
"Demokrasi lokal yang didamba-dambakan bersama telah tercederai dan terpasung oleh kepentingan para elite lokal untuk memenuhi hasrat kekuasaanya melalui alat yang dianggap akan membawa Indonesia ke dalam iklim demokrasi yang hakiki yaitu: PILKADA"













Tidak ada komentar:

Posting Komentar