Minggu, 13 Mei 2012

Akibat Sistem Administrasi yang Sakit

Tulisan yang lalu disebutkan adanya fakta yang mengejutkan ialah dalam periode 2004-2012 menurut Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzer Moenoek, terdapat 173 pejabat publik di pemerintahan daerah yang diperiksa "sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa". 70 persen dari jumlah itu mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana (Kompas, 17/4/2012). Sekarang fakta terbaru yang tidak kalah mengejutkan. Menurut data dari Kemendagri pula mencatat, sepanjang 2004 hingga April 2012 sekitar 2.976 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terseret masalah hukum. Yang paling mendominasi adalah tindak pidana korupsi (Rakyat Merdeka, 30/4/2012).

Mengguritanya praktek-praktek korupsi yang terjadi. Baik itu di dalam ranah ekskutif dan legislatif merupakan sebuah produk dari sakitnya sistem administrasi. Akibatnya, sistem tata kelola pemerintahan tidak mempunyai kekebalan (sistem imun) yang cukup mumpuni untuk melawan praktek-praktek moral hazard yang kerap dilakukan. Menurut Prof. Ryaas Rasyid berpandangan "situasi dan kondisi organisasi yang sakit tentu tidak terlepas menjadi sarang persembunyian yang paling nyaman bagi para koruptor". Para koruptor yang tertangkap hanyalah kebagian sial, sementara yang lain tetap berjalan secara massif dan terstruktur (berjamaah) (Rakyat Merdeka, 30/4/2012). Selain itu mahalnya ongkos politik untuk memperebutkan jabatan-jabatan publik ikut mendorong praktik-praktik tidak terpuji dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, dibuat lah aturan atau sistem yang tepat supaya ongkos politik tidak mahal. Misalnya dalam setiap para calon legislatif dibatasi dalam menggelontorkan dana dalam mengikuti pemilu  legislatif (Pileg). Untuk itu dibutuhkan instrumen untuk mengatur itu semua dalam sebuah Undang-Undang yang dapat mengikat semuanya. Artinya, perlu perubahan sistematis untuk mencegah berulangnya kecurangan-kecurangan itu terjadi.  Dengan cara itu, tidak ada keinginan dari para legislator berlomba-lomba mengembalikan modalnya. Sehingga seluruh waktu di legislatif benar-benar disibukkan dengan urusan mensejahterakan masyarakat. Secara tidak langsung hal ini merupakan suatu bentuk pencegahan dengan mengubah sistem yang koruptif. Perlu dipahami bersama bahwa pemberantasan korupsi bukan cuma sebatas penegakkan hukum saja, tetapi juga pencegahan. Sekuat apapun upaya penegakkan, tanpa adanya upaya pencegahan maka perbuatan korupsi akan terus berulang. Hal ini beralasan bahwa upaya pencegahan korupsi itu lebih sulit dibandingkan dengan penindakan. Artinya, pencegahan membutuhkan perubahan sistem, aturan, bahkan mindset di setiap komponen bangsa dan negara. Seperti contoh, Anda mungkin sering mendengar "uang rokok". Perumpaaan "uang rokok" ini merupakan mindset di masyarakat, kalau pelayananan ingin cepat ya harus mempersiapkan "uang rokok" itu. Mungkin perumpaan "uang rokok" hampir sama dimaknai  seperti "commitment fee". Belum lagi mindset di masyarakat, yang beranggapan bahwa pejabat publik itu harus orang kaya, harus besar bila ngasih sumbangan. Padahal bila masyarakat mengetahui gaji seorang gubernur hanya 8-9 Juta, sedangkan walikota dan bupati hanya 5-6 Juta.  Dengan cara pencegahan korupsi yang berkesinambungan dan simultan, pemberantasan korupsi  diyakini tidak membutuhkan waktu sampai puluhan tahun. Cukup dua hingga lima tahun kedepan. Dengan catatan pemerintah mempunyai komitmen bersama dan implementasinya tegas tidak pandang bulu.

1 komentar:

  1. bro, ane bukan ahli tata bahasa, cuma mau kasih saran aja utk penggunaan kata dan EYD, check this out ya:

    Akibatnya, sistem tata kelola pemerintahan tidak mempunyai kekebalan (sistem imun) yang cukup mumpuni untuk melawan praktek-praktek moral hazard yang kerap dilakukan----- kata mumpuni kayaknya enakan diganti jadi "ampuh" deh.


    Menurut Prof. Ryaas Rasyid berpandangan "situasi dan kondisi organisasi yang sakit tentu tidak terlepas menjadi sarang persembunyian yang paling nyaman bagi para koruptor". ---- mendingan kalo mau pake kata "menurut" kata "berpandangannya dihilangkan, kalo mau pake kata "berpandangan" kata "menurutnya" dihilangkan, kemudian tambahkan kata "bahwa" sebelum kutipan langsung



    kalimat ini: "Padahal bila masyarakat mengetahui gaji seorang gubernur hanya 8-9 Juta, sedangkan walikota dan bupati hanya 5-6 Juta." gak jelas Subject, Predikat,Objek, sm keterangnnya, kalo menurut ane kalimat itu masih belum selesai.


    keep on writing yak, masbro! goodluck!

    BalasHapus