Sejak 20 Oktober 2011 lalu pasangan SBY dan Boediono tepat berusia dua tahun memegang tampuk kekuasaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ada fakta yang menarik dibalik dua tahun kepemimpinan beliau. Fakta tersebut ialah terjadinya reshuffle kabinet secara besar-besaran dan adanya penambahan jabatan baru yaitu Wakil Menteri (WaMen). Ketika berbicara mengenai reshuffle kabinet maka isu ini menjadi semakin terasa hangat antara unsur politis nya atau memang murni untuk perbaikan kinerja pemerintahan. Maksudnya apa, tidak dapat dinafikkan ditengah sistem pemerintahan yang demokratis saat ini, memang yang lebih dominan untuk mengisi posisi menteri itu diisi oleh orang-orang parpol (ketua umum parpol). Hal ini dimaksudkan untuk dapat menjaga keseimbangan kekuatan pemerintah bila berhubungan dengan legislative di parlemen. Artinya pemerintah sekarang dapat sebisa mungkin untuk mengakomodir setiap kepentingan yang akan dikehendakinya. Hal ini berguna untuk menjaga kelanggengan pemerintahan kalau-kalau ditengah jalan terjadi pemakzulan oleh para politisi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dari enam presiden yang dimiliki oleh Indonesia baru pada saat sekaranglah ada penambahan post baru yakni WaMen. Bahkan satu kementerian ada dua posisi WaMen. Jabatan Wamen ini merupakan bagian organisasi dari suatu kementerian dengan struktur eselon I, sedangkan wewenangnya secara umum membantu tugas-tugas kepemimpinan menteri, termasuk mewakili menteri dalam sidang-sidang kabinet apabila menteri berhalangan tidak hadir, juga menghadiri sidang-sidang tingkat menteri diberbagai forum dalam dan luar negeri. Sudah menjadi maklum bahwa jabatan karier dalam birokrasi di Indonesia tidak ditentukan oleh sistem merit birokrasi, tetapi terkooptasi oleh kepentingan politik (Prasojo, 2009: 28). Padahal dalam pengertian sempit reformasi administrasi fokus pada penerapan prinsip-prinsip merit system. Maksudnya dengan penerapan merit system berarti menghilangkan praktek spoils system yaitu praktek kepegawaian negeri sipil yang berdasarkan pertimbangan politik, paternalistik, dan nepotisme (Kasim.2011: 9). Oleh karena itu dalam pengisian jabatan dan karir Pegawai Negara Sipil (PNS) dilindungi agar tidak dicampur baurkan dengan jabatan pollitical appointee yang diisi berdasarkan pertimbangan political patronage. Tendensi kepentingan ini semakin tinggi jika terkait dengan pengisian jabatan eselon I yang merupakan jabatan tertinggi dalam birokrasi.
Pembentukan posisi wakil menteri ini memang perlu dicermati, terutama karena kurang sejalan dengan semangat reformasi birokrasi yang sedang didengungkan. Bahkan hal ini diperkuat dengan adanya kementerian yang berperan khusus dalam memepercepat proses reformasi birokrasi Indonesia yaitu Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara - Reformasi Birokrasi Indonesia (KEMENEGPAN-RBI). Pertanyaannya selanjutnya ialah sejauh mana posisi Wamen dapat mendorong ekskalasi kinerja pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.Tidak dapat dipungkiri ketika tambahan strukutur baru berimplikasi pada penambahan anggraan belanja aparatur negara (mobil dinas, rumah dinas, tunjangan, ajudan, dlsb), maka jelas bahwa posisi WaMen ini akan menyebabkan pula tambahan anggaran belanja negara di setiap kementerian.
Dari perspektif politik reformasi birokrasi, pembentukan posisi wakil menteri adalah antitesis semangat reformasi birokrasi. Upaya untuk mendorong pemangkasan sturuktur organisasi pusat yang berpostur gemuk dan tidak sesuai dengah semangat pemerintahan yang desentralistik bukan hanya belum membuahkan hasil, tetapi sebaliknya berbuah penambahan struktur (Prasojo, 2009: 27). Persoalannya ialah apa memang perlu adanya WaMen di setiap kementerian itu, kenapa posisi WaMen itu tidak dibebankan saja kepada Sekeretaris Jenderal (Sekjen). Dalam hal ini sekjen yang paling mengerti dan mengetahui tentang keadaan di suatu kementerian, karena sekjen berasal dari pejabat karier. Belum lagi hal ini diperperah kalau WaMen dari pejabat politik bukan dari pejabat karier yang mengetahui seluk beluk kementerian. Bisa dibayangkan ketika posisi Menteri dan Wakil Menteri diisi oleh orang-orang parpol, masihkah kita berharap akan kinerja suatu kementerian tersebut. Dalam hal ini bukan berarti mendeskreditkan orang-orang parpol, memang masih banyak pula orang parpol yang memilki kapabilitas yang mumpuni. Persoalan lainnya itu adanya efek domino yang ditimbulkan dari pembentukan posisi WaMen, yaitu keinginan kementerian lainnya untuk membentuk posisi yang sama (Prasojo, 2009: 28). Bisa dibanyangkan jika 34 kementerian memilki posisi wakil menteri, maka akan semakin gemuk saja strukutur birokrasi. Jika ini terjadi, maka upaya reformasi birokrasi dengan mendesain ulang organisasi pemerintah yang ramping, efisien, dan efektif mengalami antiklimaks. Setalah itu kita kembali mempertanyakan sejauh mana komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan reformasi birokrasi.
Sumber Rujukan:
Kasim, Azhar. (2011). "Kerangka Dynamic Governance Bagi Reformasi Administrasi Negara" dalam Jurnal Ilmu Administrasi Negara dan Manajemen Publik. Bandung: Asosiasi Ilmu Adminitrasi Publik.
Prasojo, Eko. (2009). Reformasi Kedua Melanjutkan Estafet Reformasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar